Rabu, 01 Februari 2012

Pembubaran Perusahaan dan Aspek Perpajakannya


Notaris sering menerima klien yang datang untuk membubarkan perusahaannya. Selain dituntut untuk dapat menjelaskan akibat-akibat hukum atas pembubaran tersebut, notaris juga perlu menyampaikan bahwa atas pembubaran perusahaan maka (umumnya) akan ada aspek pajak yang akan timbul antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Jika saat pembubaran perusahaan tersebut masih ada Barang Kena Pajak (BKP) baik yang merupakan persediaan barang dagangan maupun aktiva, maka PPN-nya harus dilunasi karena dianggap sebagai pemakaian sendiri (lihat Pasal 1A huruf e UU PPN dan penjelasannya).

Masih menurut ketentuan Pasal 1A huruf e UU PPN, jika ada penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan, maka atas penyerahan tersebut terutang PPN.

Jika perusahaan yang akan dibubarkan tersebut mengembalikan penyertaan modal melebihi modal awal yang disetor, maka atas kelebihan pengembalian tersebut dianggap sebagai dividen dan wajib dipotong PPh Pasal 23. Begitu pun apabila sebelum dibubarkan perusahaan memberikan gaji atau pembayaran lain kepada pegawai atau staf, maka wajib dipotong PPh Pasal 21.

Pajak-pajak yang sudah dipotong atau dipungut oleh perusahaan tersebut harus disetorkan (dilunasi) ke kas negara dan dilaporkan ke Kantor Pajak tempat perusahaan terdaftar pada saat mengajukan permohonan pencabutan NPWP. Sebagai catatan, proses pencabutan NPWP atas pembubaran perusahaan bukanlah proses sederhana di Kantor Pajak.

Perlu juga diperhatikan, bagi perusahaan yang sudah membubarkan diri sebaiknya memasukkan pemberitahuan ke kementerian perdagangan untuk pencabutan SIUP dan ke pemda setempat untuk penghapusan TDP.


(modify from softindowordpress)

»»  Full Read...

Senin, 30 Januari 2012

NOTARIS sebagai PENGUSAHA KENA PAJAK?


(Tulisan ini dimaksudkan untuk menyajikan ketentuan yang ada tanpa melihat untung ruginya sebagai Pengusaha Kena Pajak-ARA)


Yang dimaksud Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam UU No 42 Thn 2009 ttg Perubahan ketiga UU No 8 Tahun 1983 ttg PPN dan PPnBM (UUPPN), adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

Untuk mengetahui sebuah barang atau jasa dapat dikenakan PPN, maka dapat dilihat ketentuan dalam ketentuan Pasal 4A ayat (3) UUPPN jo. Pasal 5 PP 144 Thn 2000 tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yang disebut juga Negative List, sebagai berikut:

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau katering.

Dari ketentuan tersebut, jasa di bidang kenotariatan tidak termasuk dalam jenis jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan PPnBM. Oleh karena itu jasa kenotariatan adalah jasa yang terutang PPN, sehingga notaris masuk ke dalam golongan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib memungut 10% PPN atas jasa yang diberikan.

Bagaimana Memperoleh Status PKP?

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, Pasal 1 menyebutkan “Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Sedangkan yang dimaksud jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya (Pasal 1 ayat 2).

Artinya, seorang notaris masih belum wajib menjadi PKP jika peredaran usahanya selama 1 tahun masih di bawah Rp 600 juta. Namun, notaris tersebut tetap dapat mengajukan dirinya sebagai PKP. Hal ini biasanya dilakukan notaris tersebut untuk menyeimbangkan pengenaan potongan pajak penghasilan atas jasa notaris yang dilakukan oleh klien.

Untuk menjadi PKP, maka seorang notaris harus memiliki NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak terlebih dahulu. NPWP ini nantinya menjadi Nomor Pokok PKP notaris yang bersangkutan yaitu dengan mendapat selembar Surat NPPKP yang diterbitkan oleh KPP Pratama tempat notaris tersebut terdaftar.

Apa yang harus dilakukan setelah menjadi PKP?

Setelah menjadi PKP, seorang notaris wajib untuk melaksanakan pula kewajiban pelaporan SPT Masa PPN setiap bulan. Penyampaian SPT Masa PPN dilakukan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya. SPT wajib diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor tempat dimana notaris tersebut terdaftar.


Bagaimana Cara Menghitung/Menerapkan PPN tersebut?

Cara menghitung PPN atas Jasa yang diterima oleh seorang notaris dari kliennya dapat dicontohkan sebagai berikut:

Notaris Alliecya, SH, MKn pada bulan Agustus 2011 mendapat honor 100jt dari PT Singa Lembu Industri atas jasanya di bulan Maret 2011. Ia wajib memungut tambahan Rp 10jt atas jasa tersebut kepada PT SLI. Sehingga PT SLI membayar Rp 110jt, dan memperoleh faktur pajak yang diterbitkan oleh notaris Alliecya. Atas PPN ini Notaris Alliecya wajib menyetorkan ke bank dan melaporkannya ke kantor pajak dengan menggunakan SPT Masa PPN paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah diterimanya pembayaran.

Sebagai catatan, dari contoh di atas jasa notaris juga akan dikenakan pemotongan PPh yang dilakukan oleh klien PT SLI tersebut. Masalah ini dibahas pada artikel terpisah.

»»  Full Read...

Senin, 23 Januari 2012

Pemotongan Pajak atas Jasa Notaris


DalamPeraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: Per-31/PJ/2012 Tentang  Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
, bagi Notaris yg memberikan jasa selaku pribadi, akan dikenakan potongan pajak penghasilan sesuai Tarif Pasal 17 berdasar Undang-Undang Pajak Penghasilan x 50% x penghasilan bruto. 

Pasal 3 Peraturan tersebut:
"Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:

a. ...
b. ...
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;.."
Penghasilan bruto yang diterima tersebut adalah seluruh penghasilan yang diterima notaris (bersifat akumulatif) selama setahun.
Perlu diingat: atas perhitungan penghasilan ini tidak diterapkan PTKP karena notaris memperoleh penghasilan bukan hanya dari satu pemberi kerja.

"Pasal 16


(1)  Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
  1. .....
  2. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);"

Contoh:
Alliecya, SH, MKn. akan menerima fee sebesar Rp 250.000.000 dari PT Singa Lembu Industry sebagai imbalan atas jasa yg diberikannya. Pembayaran dilakukan 2 kali, pada bulan Mei dibayarkan 150 jt, dan pelunasan sisa fee sebesar Rp 100 jt dibayarkan pada bulan Agustus tahun yang sama.
Pada pembayaran pertama (Rp150 juta) di bulan Mei dipotong pajak penghasilan: Rp150 juta x 50% x 5% = Rp 3,75 juta.
Sedangkan pembayaran kedua (Rp100 juta) di bulan Agustus dipotong pajak penghasilan: Rp100 juta x 50% x 15% = Rp 7,5 juta.
Jadi, total PPh terutang atas penghasilan tersebut = Rp 11.250.000,-
(Penjelasan:
Dari kedua penghitungan tersebut tampak bahwa atas pembayaran pertama (150 jt) dikenakan 5% sedangkan pembayaran kedua (100 jt) dikenakan 15%. Hal ini disebabkan kedua penghasilan tersebut adalah satu kesatuan, jika dijumlahkan totalnya 250jt. Sehingga, setelah dikalikan 50% hasilnya adalah 125jt. Untuk jumlah penghasilan 125jt maka terkena lapisan ke 1 dan ke 2, yaitu sampai dengan 50jt dikalikan 5%, dan sisanya 75jt dikalikan 15%.)
Lihat Tabel penghitungannya di bawah ini:

Bulan


Penghasilan
Bruto
(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah)
Tarif
Pasal 17
ayat (1)
huruf a
UU PPh
PPh
Pasal 21
terutang
(Rupiah)
(1)
(2)
(3)= 50% x (2)
(4)
(5)
(6) = (3) x (5)
Agustus
100.000.000,00
50.000.000,00
50.000.000,00
5%
2.500.000,00
Desember
50.000.000,00
25.000.000,00
75.000.000,00
15%
3.750.000,00
Jumlah
150.000.000,00
75.000.000,00


6.250.000,0
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan Tarif Pasal 17 berdasar Undang-Undang Pajak Penghasilan untnk wajib pajak perseorangan adalah tarif progresif/bertingkat sesuai dengan jumlah penghasilan kena pajak yang harus dipotong dari Notaris.
Lapisan penghasilan kena pajak dan tarifnya untuk wajib pajak perseorangan adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan kena Pajak (Rp)
Tarif
Rp 0 s/d 50 Juta
5%
>Rp 50 Juta s/d Rp 250 Juta
15%
>Rp 250 Juta s/d Rp 500 Juta
25%
>500 Juta
30%

Perlu diingat bahwa sejak terbitnya UU No. 36 Th 2008 (UUPPh) dalam pasal 21 ayat 5a ditetapkan bahwa bagi mereka yang tidak memiliki NPWP maka besarnya tarif pajak terutangnya lebih besar 20% dari wajib pajak serupa yang memiliki NPWP.

(...to be continued)
»»  Full Read...

Senin, 25 April 2011

Sistem Self Assessment, Voluntary Compliance dan Moral PNS


Jangan melakukan apapun yang dikatakan orang, dengarkan mereka, tapi lakukan apa yang baik saja ~ Warren Buffet

Pajak selalu menarik untuk dibahas. Apalagi jika terjadi dugaan penyimpangan. Sebagian masyarakat menilai kekuasaan yang diberikan undang-undang terhadap pemungutan pajak menjadikan aparat perpajakan berpotensi melakukan penyelewengan pajak. Tidak heran jika sering dijumpai komentar yang miring terhadap hal-hal tentang pajak. Namun harus disadari, pajak adalah sumber yang paling potensial untuk membiayai kebutuhan negara. Yang paling menghentakkan masyarakat akhir-akhir ini adalah dugaan penyimpangan pajak yang melibatkan jajaran petinggi kepolisian, kejaksaaan, pengacara, konsultan pajak, petugas pajak, dan Pengadilan Pajak.

Kasus ini begitu bombastis tidak hanya dikarenakan jumlah uang yang “parkir” di rekening seorang PNS golongan III A dan baru berusia 30 tahun jumlahnya cukup mencengangkan, juga dikarenakan pemberitaan media berdekatan dengan batas akhir pemenuhan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh). Penulis sendiri melihat kasus ini begitu menyedot perhatian massa dengan menggunakan sebuah analogi. Apabila seseorang mengalami kecopetan atau pencurian, misalnya, maka yang menderita secara langsung hanyalah korban sendiri. Teman atau orang-orang disampingnya tidak merasakan derita itu. Bandingkan dengan persoalan pajak. Jika ada dugaan penyelewengan pajak maka seluruh rakyat, yang merupakan pembayar pajak, akan merasakan derita yang sama. Seorang tukang becak, seorang tukang gorengan, atau bahkan anak dalam kandungan sudah merupakan pembayar pajak. Terlebih lagi masyarakat masih banyak yang belum dapat membedakan jenis pajak atau pungutan. Makan di restoran harus bayar pajak. Membeli minuman botol harus bayar pajak. Ke bioskop juga harus bayar pajak. “Pajak” adalah satu, pungutan yang wajib dibayar tanpa bisa ditolak.

Semestinya Ditjen Pajak cepat tanggap dan harus dapat sesegera mungkin menjelaskan kepada masyarakat modus dari dugaan penyimpangan pajak tersebut. Hal ini sangat krusial karena penerimaan negara tahun anggaran 2010 yang di rencanakan dari pajak sebesar Rp733,24 triliun dalam APBN-P (Perubahan) dapat terganggu pemungutannya. Reaksi masyarakat yang berlebihan dengan membentuk komunitas 1 juta facebookers boikot bayar pajak adalah cermin kekurangpahaman masyarakat akan kasus yang terjadi.

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

Dengan sistem self assessment yang dianut di Indonesia para wajib pajak diwajibkan untuk menghitung sendiri, menyetor sendiri, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Artinya, besarnya pajak yang harus dibayar oleh seorang wajib pajak sejatinya hanya diketahui oleh wajib pajak sendiri dan Yang Di Atas. Menjadi tantangan besar bagi pemerintah adalah menggugah hati nurani rakyat (wajib pajak) agar melaporkan sebenar-benarnya penghasilan dan hartanya. Ini artinya tidak hanya dibutuhkan aksi dari pemerintah, tetapi justru sebaliknya aksi dari masyarakatlah yang menentukan. Kepatuhan wajib pajak adalah tantangan terbesar yang menjadi pusat perhatian Ditjen Pajak setiap tahunnya.

Berdasarkan pengumuman resmi dari Direktur Jendral Pajak, jumlah wajib pajak terdaftar sampai dengan akhir Tahun 2009 adalah sejumlah 15,91 juta orang (Kompas.com, 4/1/2010). Itu artinya hanya kira-kira 6,89% dari jumlah warga negara Indonesia yang diperkirakan oleh BPS sejumlah 231 juta jiwa. Belum ada penelitian tentang tingkat kerelaan masyarakat Indonesia terhadap kewajiban memenuhi pajak yang terutang, namun dapat dilihat dari jumlah penyampaian SPT. Hingga akhir Maret 2010 ini SPT yang diterima Ditjen Pajak berjumlah 5.910.629 SPT. Ini belum termasuk SPT Perusahaan/Badan yang batas akhir penyampaiannya 30 April 2010. Jika diperkirakan jumlah Perusahaan yang akan menyampaikan SPT hingga akhir April ini tidak lebih banyak dari SPT Perorangan, maka angka 10 juta SPT tidak akan tercapai. Sehingga dapat disimpulkan kepatuhan wajib pajak belum tinggi.

PERAN PETUGAS PAJAK

Tantangan terbesar dari para petugas pajak adalah memberikan pelayanan yang terbaik. Program yang sudah dijalankan di kantor-kantor pelayanan pajak seolah tak mendapat dukungan yang memadai. Sejatinya tujuan dari sebuah pelayanan hanyalah satu kata, kepuasan. Namun yang terlihat banyak terjadi di lapangan, meskipun secara fisik kantor tersebut sudah menarik tetapi pelayanan yang diberikan oleh petugasnya masih belum bisa disandingkan dengan pelayanan di bank misalnya. Menghubungi kantor pajak melalui telponpun susahnya bukan main. Coba bandingkan dengan menghubungi informasi Telkom. Sumber daya yang ada seolah tak pernah memadai karena masih banyak kantor pelayanan yang kekurangan pegawai. Tahun 2010 Ditjen Pajak telah memrogramkan menambah jenis pelayanan unggulan dari tahun lalu yang berjumlah 8 jenis.

Ke 8 jenis program itu terdiri dari pelayanan penyelesaian permohonan pendaftaran nomor pokok wajib pajak (NPWP); pelayanan penyelesaian permohonan pengukuran pengusaha kena pajak (PKP); pelayanan penyelesaian permohonan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN); pelayanan penerbitan surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP); pelayanan penyelesaian permohonan keberatan penetapan pajak; pelayanan penyelesaian pemberian izin prinsip pembebasan PPh Pasal 22 Impor; pelayanan penyelesaian surat keterangan bebas (SKB) pemungutan PPh Pasal 22 Impor; penyelesaian permohonan wajib pajak atas pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Telah menjadi rahasia umum bahwa dengan reformasi Ditjen Pajak sejak tahun 2004 lalu para pegawainya telah mendapatkan penghasilan yang jauh lebih layak dibandingkan beberapa kementerian lainnya. Oleh karena itu, jika masih terjadi penyimpangan keuangan negara yang berkaitan dengan “pajak” maka reaksi masyarakat sudah bisa dipastikan akan geram. Salah satu cara untuk meminimalisir keadaan ini adalah memperjelas program-program penyuluhan yang didukung oleh program pembinaan mental pegawai yang lebih lagi, dimana program-program tersebut terbuka untuk masyarakat umum. Yang terjadi saat ini adalah seperti pepatah lama “karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Akhirnya iklan-iklan yang sudah melekat di masyarakat dan membantu meningkatkan citra Ditjen Pajak seolah hancur berkeping dengan dugaan penyelewangan pajak tersebut.

PERAN WAJIB PAJAK

Tidak salah jika menyebut bahwa salah satu cita-cita dari setiap negara di dunia adalah memiliki warga negara yang rela membayar pajak dengan sukarela. Keadaan seperti ini tentu tidak terbentuk dalam waktu singkat. Pada dasarnya, dalam konteks pajak, negara dan rakyat sama-sama membutuhkan. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat semestinya semata-mata untuk keperluan negara dalam membangun negeri, yang artinya uang pajak tersebut dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk pembangunan seperti jalan raya, rumah sakit, sekolah, dan berbagai fasilitas umum. Status menjadi wajib pajak ditandai dengan kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun tanpa memiliki NPWPpun rakyat juga adalah sebagai pembayar pajak. Dan sebaliknya, pajakpun harus menyediakan kebutuhan bagi para pembayar pajak ini, bahkan sejak dalam kandungan. Bentuknya adalah pelayanan yang diterima di rumah sakit, sekolah, ataupun jalan raya. Sehingga pajak pada dasarnya membrikan manfaat tidak hanya untuk pemilik NPWP tetapi seluruh rakyat yang menikmati fasilitas tersebut. Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa dengan sistem self assessment ini ada tantangan dari wajib pajak untuk benar-benar “rela” memperhitungkan seluruh pajaknya dan siap dengan resiko yang mungkin dapat timbul dari laporan yang disampaikan. Artinya, jika suatu saat hasil pemeriksaan kantor pajak menemukan bukti yang akurat atas kekurangan pajak yang dibayar oleh wajib pajak, berapapun besarnya, maka wajib pajak wajib melunasi kekurangan tersebut. Justru yang terjadi di lapangan, wajib pajak “tidak rela” melunasi kekurangan dan mencari jalan keluar dengan cara-cara tertentu. Jika wajib pajak tersebut bertemu dengan petugas bermental korup, maka penyelewangan itu tak terhindari.

PERAN KONSULTAN PAJAK DAN KANTOR AKUNTAN PAJAK

Semenjak reformasi digulirkan di tubuh Kementerian Keuangan, terutama Ditjen Pajak, maka secara tidak tertulis peran konsultan pajak menjadi bertambah besar. Konsultan pajak idealnya dapat menjadi jembatan antar fiskus (petugas pajak) dan wajib pajak.

Pertama, menyangkut fungsi konsultasi atau advisory. Misalnya saja wajib pajak mendapat warisan, perusahaan mau mem-PHK karyawan, mau membayar event organizer atau perusahaan mau melakukan akuisisi, semua itu akan merembet ke soal pajak.

Kedua, sebagaimana diungkapkan di awal, konsultan pajak membantu wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak. bila pusing mengisi SPT bulanan dan tahunan, wajib pajak bisa menyerahkannya pada konsultan pajak agar tak terjadi kekeliruan.

Ketiga, bila terjadi sengketa atau dispute soal pajak. Hal ini sangat mungkin terjadi, sehingga berdampak pada pemeriksaan pajak, keberatan pajak, hingga pengajuan banding ke pengadilan pajak. Kalau hal itu terjadi, wajib pajak bisa meminta bantuan dari konsultan pajak.

Jika sebelum reformasi disinyalir banyak konsultan pajak yang berbagi peran dengan petugas pajak untuk menikmati bagian uang pajak yang seharusnya masuk ke kas negara, kini dengan ketatnya penerapan kode etik di lingkungan DITJEN PAJAK maka konsultan pajak dapat saja menjadi pemain tunggal. Celakanya jika konsultan pajak itu bandel, menjadi musang berbulu domba kepada wajib pajak, menggunakan alasan bahwa petugas pajak yang meminta sejumlah compliment sedangkan itu hanyalah akal-akalan dari konsultan pajak tersebut. Akibatnya, banyak wajib pajak yang bergantung pada konsultan pajak tetap tak merasakan adanya perubahan paradigma di tubuh DITJEN PAJAK.

Serupa dengan konsultan pajak, peran Kantor Akuntan Publik juga sejatinya dapat merupakan partner bagi petugas pajak dalam membantu pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak para wajib pajak kliennya, terutama dalam proses pemeriksaan pajak. Namun masih ditemui KAP yang berani menerbitkan hasil audit dengan opini wajar atas dasar permintaan wajib pajak untuk alasan tertentu, atau mengumumkan di media massa prospektus dengan angka yang berbeda di neraca asli perusahaan tersebut.

Atas hal-hal seperti ini maka dirasa perlu untuk meninjau ulang kredibilitas para Konsultan Pajak dan Kantor Akuntan Publik sesuai aturan yang berlaku. Usul untuk diterbitkan Kode Etik Profesi Konsultan Pajak dan Kantor Akuntan Publik mungkin perlu dipertimbangkan.

PERAN PENGADILAN PAJAK

Pengadilan Pajak berperan sebagai lembaga peradilan tempat wajib pajak mengajukan upaya hukum banding dan gugatan terhadap sengketa pajak. Banding diajukan apabila wajib pajak tidak puas dengan ketetapan pajak hasil pemeriksaan Ditjen Pajak. Sedangkan gugatan diajukan apabila wajib pajak menganggap ada kekeliruan atas prosedur penagihan utang pajaknya. Uniknya, upaya hukum dari keputusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Kasasi layaknya pada putusan badan peradilan lain, tetapi hanya dapat diajukan Peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Dalam pasal 15 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, penjelasannya menyatakan bahwa yang dimaksud pengadilan khusus di dalamnya termasuk Pengadilan Pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Kenyataannya, Mahkamah Agung (MA) mengaku kesulitan dalam proses pengawasan terhadap pengadilan pajak. Sebab, selama ini proses peradilannya berada di bawah Kementrian Keuangan.

“Kita kesulitan bagaimana melakukan pengawasan pada para hakimnya karena peradilan pajak secara administratif berada di bawah Depkeu,” kata Ketua MA Harifin A Tumpa (detikNews, 26/03/2010).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sengketa pajak yang ditangani oleh Pengadilan Pajak lebih banyak dimenangkan oleh pemohon banding (wajib pajak). Dari data Ditjen Pajak, pada 2008 jumlah banding dan gugatan di Pengadilan Pajak mencapai 6.430 kasus. Jumlah ini naik dari tahun 2007 yang hanya 4.836 kasus. Yang mencengangkan, pada tingkat banding, Ditjen Pajak selalu kalah.

Ini menjadi pertanyaan besar kepada Ditjen Pajak, apakah SKPKB yang menjadi pokok sengketa itu tidak didukung oleh hasil pemeriksaan yang solid? Ataukah kepandaian wajib pajak membela dirinya di persidangan?

MAKELAR KASUS PAJAK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah memetakan kasus kejahatan pajak. Presiden mengungkapkan ada tiga jenis kejahatan pajak.

Pertama, wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya, tidak bayar atau ngemplang, atau membayar tidak sesuai dengan ketentuan. Kedua, petugas pajak melakukan korupsi dengan mengambil uang. Ketiga, sering disebut kongkalikong atau damai yang jahat. Artinya, wajib pajak, yang harusnya membayar 100 persen dari kewajiban pajaknya, barangkali hanya membayar 60 persen. “Yang 60 persen itu dikongkalikong lagi, dan disiasati lagi oleh oknum di lingkungan pajak. Mungkin diambil lagi di situ, yang masuk ke negara mungkin tinggal 20 persen-30 persen. Dua-duanya melakukan kejahatan dan kembali negara dirugikan,” terang Presiden. (Kompas.com , 5/4/2010)

Istilah makelar kasus tumbuh dan berkembang di lingkungan peradilan. Dengan adanya “markus pajak” otomatis yang muncul di pikiran masyarakat adalah makelar kasus yang beredar di Pengadilan Pajak. Yang membuat keberadaan markus-markus ini tumbuh subur dikarenakan adanya peluang dan ketidakjelasan aturan mengenai makelar. Jika dipersamakan dengan pengertian tentang makelar pada umumnya, maka profesi markus tidak dapat dipidana. Jasa yang mereka peroleh hanya sebagai penghubung antara pihak wajib pajak dan pihak Pengadilan Pajak memang merupakan penghasilan yang dapat dikenakan pajak, tetapi sepanjang keterlibatannya tidak mengandung unsur pidana atau sebatas penghubung saja, maka hukum belum dapat menjangkaunya.

KESIMPULAN

Memasuki awal semester pertama tahun anggaran 2010 ini, target penerimaan pajak berada di ujung tanduk apabila pemerintah tidak mampu mengatasi dengan segera kasus makelar pajak tersebut. Kasus yang terjadi harus dapat dijelaskan modusnya untuk menyadarkan masyarakat apakah benar terjadi penyelewengan uang pajak yang sudah di setor ke kas negara, ataukah hanya gratifikasi atau jasa saja, yang artinya tidak termasuk uang pajak sebagaimana yang diduga masyarakat. Departemen Keuangan, khususnya Ditjen Pajak, harus lebih berani terbuka dan mengevaluasi seluruh jajarannya. Hal yang terpenting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah menciptakan pelayanan yang memuaskan dan seragam di seluruh kantornya. Perlu dikaji bentuk pelayanan yang sekarang ada, yang ingin mengedepankan pelayanan prima, karena pada kenyataannya pelayanan yang diberikan masih belum memenuhi kepuasan layaknya pelayanan di lembaga pelayanan publik lain seperti perbankan.

Pengadilan Pajak yang seolah terlupakan pengawasannya pun harus menjadi prioritas perhatian pemerintah terutama Mahkamah Agung dan Kementerian Keuangan. (ara 04/2010)

»»  Full Read...