Senin, 30 Januari 2012

NOTARIS sebagai PENGUSAHA KENA PAJAK?


(Tulisan ini dimaksudkan untuk menyajikan ketentuan yang ada tanpa melihat untung ruginya sebagai Pengusaha Kena Pajak-ARA)


Yang dimaksud Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam UU No 42 Thn 2009 ttg Perubahan ketiga UU No 8 Tahun 1983 ttg PPN dan PPnBM (UUPPN), adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

Untuk mengetahui sebuah barang atau jasa dapat dikenakan PPN, maka dapat dilihat ketentuan dalam ketentuan Pasal 4A ayat (3) UUPPN jo. Pasal 5 PP 144 Thn 2000 tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yang disebut juga Negative List, sebagai berikut:

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau katering.

Dari ketentuan tersebut, jasa di bidang kenotariatan tidak termasuk dalam jenis jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan PPnBM. Oleh karena itu jasa kenotariatan adalah jasa yang terutang PPN, sehingga notaris masuk ke dalam golongan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib memungut 10% PPN atas jasa yang diberikan.

Bagaimana Memperoleh Status PKP?

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, Pasal 1 menyebutkan “Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Sedangkan yang dimaksud jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya (Pasal 1 ayat 2).

Artinya, seorang notaris masih belum wajib menjadi PKP jika peredaran usahanya selama 1 tahun masih di bawah Rp 600 juta. Namun, notaris tersebut tetap dapat mengajukan dirinya sebagai PKP. Hal ini biasanya dilakukan notaris tersebut untuk menyeimbangkan pengenaan potongan pajak penghasilan atas jasa notaris yang dilakukan oleh klien.

Untuk menjadi PKP, maka seorang notaris harus memiliki NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak terlebih dahulu. NPWP ini nantinya menjadi Nomor Pokok PKP notaris yang bersangkutan yaitu dengan mendapat selembar Surat NPPKP yang diterbitkan oleh KPP Pratama tempat notaris tersebut terdaftar.

Apa yang harus dilakukan setelah menjadi PKP?

Setelah menjadi PKP, seorang notaris wajib untuk melaksanakan pula kewajiban pelaporan SPT Masa PPN setiap bulan. Penyampaian SPT Masa PPN dilakukan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya. SPT wajib diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor tempat dimana notaris tersebut terdaftar.


Bagaimana Cara Menghitung/Menerapkan PPN tersebut?

Cara menghitung PPN atas Jasa yang diterima oleh seorang notaris dari kliennya dapat dicontohkan sebagai berikut:

Notaris Alliecya, SH, MKn pada bulan Agustus 2011 mendapat honor 100jt dari PT Singa Lembu Industri atas jasanya di bulan Maret 2011. Ia wajib memungut tambahan Rp 10jt atas jasa tersebut kepada PT SLI. Sehingga PT SLI membayar Rp 110jt, dan memperoleh faktur pajak yang diterbitkan oleh notaris Alliecya. Atas PPN ini Notaris Alliecya wajib menyetorkan ke bank dan melaporkannya ke kantor pajak dengan menggunakan SPT Masa PPN paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah diterimanya pembayaran.

Sebagai catatan, dari contoh di atas jasa notaris juga akan dikenakan pemotongan PPh yang dilakukan oleh klien PT SLI tersebut. Masalah ini dibahas pada artikel terpisah.

»»  Full Read...

Senin, 23 Januari 2012

Pemotongan Pajak atas Jasa Notaris


DalamPeraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: Per-31/PJ/2012 Tentang  Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
, bagi Notaris yg memberikan jasa selaku pribadi, akan dikenakan potongan pajak penghasilan sesuai Tarif Pasal 17 berdasar Undang-Undang Pajak Penghasilan x 50% x penghasilan bruto. 

Pasal 3 Peraturan tersebut:
"Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:

a. ...
b. ...
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;.."
Penghasilan bruto yang diterima tersebut adalah seluruh penghasilan yang diterima notaris (bersifat akumulatif) selama setahun.
Perlu diingat: atas perhitungan penghasilan ini tidak diterapkan PTKP karena notaris memperoleh penghasilan bukan hanya dari satu pemberi kerja.

"Pasal 16


(1)  Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
  1. .....
  2. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);"

Contoh:
Alliecya, SH, MKn. akan menerima fee sebesar Rp 250.000.000 dari PT Singa Lembu Industry sebagai imbalan atas jasa yg diberikannya. Pembayaran dilakukan 2 kali, pada bulan Mei dibayarkan 150 jt, dan pelunasan sisa fee sebesar Rp 100 jt dibayarkan pada bulan Agustus tahun yang sama.
Pada pembayaran pertama (Rp150 juta) di bulan Mei dipotong pajak penghasilan: Rp150 juta x 50% x 5% = Rp 3,75 juta.
Sedangkan pembayaran kedua (Rp100 juta) di bulan Agustus dipotong pajak penghasilan: Rp100 juta x 50% x 15% = Rp 7,5 juta.
Jadi, total PPh terutang atas penghasilan tersebut = Rp 11.250.000,-
(Penjelasan:
Dari kedua penghitungan tersebut tampak bahwa atas pembayaran pertama (150 jt) dikenakan 5% sedangkan pembayaran kedua (100 jt) dikenakan 15%. Hal ini disebabkan kedua penghasilan tersebut adalah satu kesatuan, jika dijumlahkan totalnya 250jt. Sehingga, setelah dikalikan 50% hasilnya adalah 125jt. Untuk jumlah penghasilan 125jt maka terkena lapisan ke 1 dan ke 2, yaitu sampai dengan 50jt dikalikan 5%, dan sisanya 75jt dikalikan 15%.)
Lihat Tabel penghitungannya di bawah ini:

Bulan


Penghasilan
Bruto
(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah)
Tarif
Pasal 17
ayat (1)
huruf a
UU PPh
PPh
Pasal 21
terutang
(Rupiah)
(1)
(2)
(3)= 50% x (2)
(4)
(5)
(6) = (3) x (5)
Agustus
100.000.000,00
50.000.000,00
50.000.000,00
5%
2.500.000,00
Desember
50.000.000,00
25.000.000,00
75.000.000,00
15%
3.750.000,00
Jumlah
150.000.000,00
75.000.000,00


6.250.000,0
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan Tarif Pasal 17 berdasar Undang-Undang Pajak Penghasilan untnk wajib pajak perseorangan adalah tarif progresif/bertingkat sesuai dengan jumlah penghasilan kena pajak yang harus dipotong dari Notaris.
Lapisan penghasilan kena pajak dan tarifnya untuk wajib pajak perseorangan adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan kena Pajak (Rp)
Tarif
Rp 0 s/d 50 Juta
5%
>Rp 50 Juta s/d Rp 250 Juta
15%
>Rp 250 Juta s/d Rp 500 Juta
25%
>500 Juta
30%

Perlu diingat bahwa sejak terbitnya UU No. 36 Th 2008 (UUPPh) dalam pasal 21 ayat 5a ditetapkan bahwa bagi mereka yang tidak memiliki NPWP maka besarnya tarif pajak terutangnya lebih besar 20% dari wajib pajak serupa yang memiliki NPWP.

(...to be continued)
»»  Full Read...